Berislam Secara Utuh

Pasca pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, muncul ancaman dari Musailamah al-Kadzdzab. Laki-laki bengis berwajah buruk itu tidak hanya memerangi kaum muslimin, tapi juga mengangkat dirinya sebagai nabi. la mendirikan benteng dan menyusun kekuatan untuk menyerang kaum muslimin.
Pembangkangan yang dilakukan Musailamah al Kadzdzab tak mungkin dibiarkan. Khalifah Abu Bakar segera membentuk sebuah pasukan di
bawah pimpinan Ammar bin Yasir. Ketika Rasulullah saw. hidup, pernah dikirim utusan untuk memberi peringatan kepada Musailamah. Dengan pongah Musai
lamah malah membunuh utusan ter¬sebut. Setelah Rasulullah saw wafat, Musailamah semakin berani unjul gigi dan membuat kekacauan. Upaya merekrut pengikut semakin ia galakkan. Tak heran, jika jumlah pengikutnya kian bertambah. la menghalalkan berbagai larangan, agama dan menggugurkan berbagai kewajiban. Di antaranya adalah zakat. Menurutnya, kewajiban zakat hanya berlaku semasa Rasulullah saw hidup. Setelah beliau tiada, secara otomatis kewajiban zakat pun hilang.
Untuk menghadapi pasukan kaum muslimin yang dikirim Abu Bakar, Musailamah segera menyiapkan pasukan yang berjumlah dua kali lipat. Pertempuran dahsyat akhirnya tak ter¬elakkan. Dengan kekuatan persenjataan yang lebih lengkap, pasukan Musailamah dapat memukul mundur pasukan Ammar. Tidak sedikit prajurit muslim yang gugur sebagai syuhada. Melihat itu, Ammar bin Yassir segera naik ke atas bukit.Dengan suara lantang ia berteriak, "Mengapa kalian hendak lari dari surga? Marilah bersamaku meraih surga!"
Mendengar seruan sang panglima yang membahana, pasukan Islam seolah mendapat tenaga barn. Mereka terus meningkatkan perlawanan, hingga akhirnya Musailamah dan pasukannya dapat ditumpas habis.
Sepenggal kisah di atas memberikan beberapa ibrah yang bisa kita jadikan pelajaran. Pertama, betapa jelas embrio kemunafikan tersembunyi di masa Rasulullah saw. Ketika beliau wafat, embrio itu pun seolah menemukan momentumnya untuk berkembang biak. Kebencian terhadap Islam (Islamofobia) berubah menjadi kekuatan yang dapat memangsa eksistensi kaum muslimin.
Kedua, keengganan membayar zakat dari sekelompok umat Islam pada masa itu merupakan refleksi penentangan terhadap prinsip-prinsip utama Islam. Sebagai pemimpin umat, Abu Bakar berusaha me¬mandang jauh ke depan. Terbukti, keputusan beliau memerangi pembangkang zakat dan or¬ang-orang murtad di bawah komando Musai¬lamah mampu mengembalikan stabilitas keamanan dan kedamaian dalam tubuh umat Islam.
Seperti kata Ibnu Khaldun, sejarah kerap mengulang dirinya sendiri. la selalu menyisakan banyak pelajara. Saat ini, ketika dengung penegakan syariah begitu keras bergema, tidak sedikit suara-suara sumbang yang berupaya menghalangi usaha tersebut. Dengan cara yang sedikit lebih 'cerdas' (baca: licik), mereka berupaya menyimpangkan pemahaman kaum muslimin dari pokok-pokok utama Islam. Makna jihad dicampur dengan ijtihad. Zakat pun disamakan dengan pajak.
Ketiga, memang, pola tahrif (penyimpang¬an), takwil (interpretasi tanpa dalil syar'i), dan ta'thil (penghilangan makna) adalah cara-cara yang akrab dilakukan musuh Islam dan kaum munafik. Mereka tidak ingin melihat Islam jaya. Mereka sadar, memusuhi umat Islam dengan senjata hanya akan menjadi bumerang pahit. Perang Salib adalah contoh yang terlalu jelas tentang hal ini. "Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sama saja satu dan yang lain. Mereka menganjurkan yang munkar dan melarang yang maruf. Mereka menggenggam tangan mereka (kikir) dan lupa kepada Allah, oleh karena itu Allah lupa kepada mereka. Sungguh, orang munafik itulah orang yang fasik," (QS al-Taubah: 67).
Selain itu, sikap Khalifah Abu Bakar ra memerangi para pembangkang zakat menun¬jukkan urgensi kedudukan zakat dalam tats kenegaraan Islam. Karenanya, orang yang mengetahui kewajiban zakat namun menging¬karinya, secara syar'i dihukumi sebagai murtad (keluar dari Islam), seperti ditegaskan oleh Imam Nawawi (Majmu syarah muhadzdzab 5/334).
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat sering disebut dalam al-Qur'an bergandengan dengan shalat. Jika shalat membangun hubungan yang kuat dengan Allah sebagai pencipta manusia, sebaliknya, zakat mengeratkan jalinan kasih antar sesama muslim. Memang, fithrah manusia selalu mengharapkan kasih sayang Allah. Pada saat bersamaan, hubungan sosial yang hangat dan damai merupakan hajat mutlak manusia. Zakat, akhirnya tidak sekadar ibadah yang wajib dilakukan, tapi jugs mampu menghilangkan jurang kesenjangan di tengah masyarakat. Pada dua arus ini, visi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat terwujud.
Keempat, keputusan Abu Bakar ra yang menolak pemisahan antara shalat dan zakat mencerminkan visi integral beliau dalam memahami dan menegakkan Islam. Sebelum¬nya, keputusan itu sempat diinterupsi Umar. "Mengapa Anda memerangi mereka, sedang Rasulullah saw hanya diperintahkan memerangi manusia hingga mereka berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Dengan tegas Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, saya akan memerangi siapa pun yang membedakan antara zakat dan shalat. Demi Allah, seandainya mereka tidak mau memberikan seutas tali yang biasa mereka berikan semasa Rasulullah saw hidup, saya pasti memerangi mereka." Melihat ketegasan terpancar kuat dari wajah khalifah, Umar sadar. Pasukan pun diutus untuk memerangi kaum pembangkang zakat, yang berakhir dengan kembalinya mereka melaksanakan rukun Islam keempat itu (HR al-Jama'ah selain Ibnu Majah).
Bagi Abu Bakar, persoalannya tidak terletak pada besar kecil nilai zakat yang dibayarkan. Tapi, pengingkaran terhadap ajaran Islam oleh orang-orang yang masih mengaku dirinya muslim. Para sahabat Rasulullah saw memahami ungkapan syahadatain tidak mungkin bermakna jika disertai pengingkaran terhadap kewajiban dalam Islam. Keimanan jelas tidak mungkin berpadu dengan pengingkaran. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan...," (QS al¬Baqarah: 208).
Akhirnya, visi Islam sebagai rahmat bagi semesta dapat mewujud secara maksimal jika diwadahi oleh sebuah khilafah. Sebuah peme¬rintahan yang tunduk pada al-Our'an dan as¬Sunnah di bawah panji kalimah "Laailahai¬fiallah". Sebuah pemerintahan yang digambar¬kan Sayyid Quthb dengan ungkapan, "Ke¬bangsaan yang diikat oleh akidah islamiyah, tanah air yang bernama Darul Islam, dan Allah sebagai penguasa dengan undang-undang berdasarkan al-Qur'an." Untuk saat ini, tampak¬nya jalan menuju ke arah itu masih panjang. Wallahu alam bish-shawab.
lkhwan Fauzi/MN Ridwan
Sabili No. 13 Th IX 19 Desember 2001/4Syawal 1422

Selengkapnya..
>