Mewaspadai Aksi Kaum Misionaris

Suatu ketika beberapa pemimpin Quraisy berkumpul untuk merundingkan cara-cara menundukkan Rasulullah saw. Akhirnya me-reka sepakat untuk mengutus Abul Walid, sastrawan Arab yang terkenal dengan kepan¬daiannya menciptakan syair. Abul Walid ditugaskan membujuk Nabi Muhammad saw agar meninggalkan dakwahnya. Berbagai tawaran duniawi diajukan kepada beliau, baik pangkat, jabatan maupun harts.
Begitu mendengar berbagai tawaran Abul Walid, beliau segera membaca Surat al¬Fushilat dari awal sampai akhir. Abul Walid tertegun mendengarkannya. Rupanya ia merasa tertarik dan terpesona dengan kein¬dahan gaya bahasa al-Qur'an. Tanya me-ngucapkan sepatah kata pun kepada Rasulul¬lah, ia kembali kepada kaumnya.
Begitu tiba di hadapan kaumnya, mereka segera bertanya, "Apa hasil yang kamu bawa?"
Abul Walid menjawab, "Aku belum pernah mendengarkan kata-kata yang seindah ayat¬ayat al-Qur'an. Itu bukan syair, bukan pula sihir atau kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya al-Qur'an itu ibarat pohon yang daunnya rindang. Akarnya terhunjam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia. Kedudukannya begitu tinggi dan tidak ada tandingannya."
Mendengar jawaban Abul Walid, mereka segera menuduhnya telah berkhianat terhadap agama nenek moyangnya. Abul Walid mereka anggap telah condong kepada agama Islam dan meninggalkan kepercayaan nenek mo¬yang mereka.
Komentar Abul Walid tentang al-Qur'an sebenarnya diamini oleh para pujangga pada masa jahiliyah. Bahkan pada masa sekarang pun berbagai kalangan cendekiawan menga¬kui segala keunggulan al-Qur'an, sebagai kitab suci yang masih terjaga keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan segala keotentikan dan kebenarannya. Selain itu, kandungan al Qur’an sangat relevan dengan segala zaman dan selaras dengan dunia sains. Itulah al Qur’an yang merupakan kalam Ilahi, sarat dengan petunjuk dan hidayah bagi umat manusia di akhir zaman ini.
Terjaganya keutuhan kitab suci al-Qur'an bukan semata-mata faktor kebetulan, tetapi merupakan sunnatullah, sebagai bukti akan kebenaran Islam dan mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan apa yang terjadi terhadap kitab para Nabi terdahulu. Sepeninggal mereka, kitab-kitab suci itu mengalami perubahan drastic. Tangan¬tangan kotor Bani Yahudi dan Nasrani telah mengubah dan mencampurinya dengan kebatilan. Jika dilakukan investigasi untuk melacak di mana keberadaan kitab-kitab suci yang sesungguhnya, maka yang didapati hanyalah kitab-kitab revisi karya orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Ironisnya, pada saat ini, kitab-kitab palsu tersebut mendapat legalitas kebenaran dari sebagian umat manusia. Sangat menyedihkan sekali bila sebagian umat yang tidak meng¬gunakan days nalarnya secara tajam terje¬rumus ke dalam jurang kesesatan. Taklid buta pun kian menjerat, lantaran mereka hanya mengikuti pola pikir para pendahulu mereka yang telah menyulut suluh api kesesatan. Al¬lah SWT berfirman, "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang diturunkan Allah', mereka menjawab, '(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya'. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak¬bapak mereka) walau syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala¬nyala (neraka)?" (QS Lukman: 21).
Upaya kotor semacam itu kini jugs kembali dipaksakan terhadap al Qur'an. Langkah-¬langkah yang mendukung proses tersebut kian ditingkatkan. Para cendekiawan yang tergabung dalam lingkaran para misionaris dan orientalis diterjunkan untuk mempelajari dan mengkaji al-Qur'an secara mendalam dengan tujuan mencari celah-celah penjerumusan. AI-Qur'an palsu yang mereka ciptakan itu telah beberapa kali disosialisasikan ke kantong-kantong muslim. Melalui dunia pendidikan mereka adakan penetrasi besar-besaran di tengah-tengah masyarakat Islam. Sebenarnya, hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Ketika Rasulullah saw masih hidup, Musailamah al-Kadzab, salah seorang tokoh munafik yang memproklamirkan diri sebagai Nabi telah mencoba membuat ayat-ayat tandingan. Salah satu teks ayatnya berbunyi, "Hai katak anak dari dua katak, berkuaklah sesukamu, bahagian atas engkau di air dan bahagian bawah engkau di tanah." Alih-alih menandingi al-Qur'an, Musailamah dan kelompoknya justru mendapat cemoohan dari banyak kalangan ahli syair dan sastra pada saat itu. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, nabi palsu dari Yaman itu menemui ajalnya dalam sebuah pertempuran dahsyat.
Mencermati gerak langkah kaum misio¬naris yang begitu gigih, sangat mengerikan bila pada akhirnya mini mereka ditelan begitu saja oleh sebagian generasi muda Islam yang belum siap menghadapinya. Tanpa sadar, sebenarnya mereka tengah disuguhkan racun¬racun yang sangat mematikan. Dengan al¬Qur'an palsu tersebut, umat hendak diarahkan untuk berorientasi ke arah paradigms baru yang menyesatkan. Doktrin bahwa agama Islam itu menyesatkan, mereka paksakan kepada para generasi Islam. Fakta kebenaran mereka putarbalikkan. Sehingga di mats orang-orang
yang tidak mempunyai ilmu dan pendirian, kebenaran itu laksana fatamorgana. Karenanya, umat ini tidak boleh lengah. Kewaspadaan terhadap aksi kaum misionaris itu harus senantiasa terjaga. Yang harus disadari adalah, bagaimana pun lemah lembutnya mereka, mereka tetap mempunyai niatan jahat terhadap umat ini, yaitu ingin meluluhlantakkan dan men¬jerumuskan kita ke jurang kesesatan yang dalam. Mereka tentu saja bergembira ketika berhasil menyesatkan banyak manusia. Namun, mereka tak bias berharap mampu menghapus al-Qur'an dari muka ini. Karena Allah SWT telah berjanji akan senantiasa menjaga segala keutuhannya sampai kapan pun, sebagaimana ditegaskan di dalam firman¬Nya, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Our'an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya," (QS al-Hijr: 9).
Tugas utama umat ini untuk menghadapi segala penyerangan kaum misionaris itu tidak lain kecuali segera kembali kepada al-Qur'an itu sendiri. Mempelajari dan mengkaji al-Qur'an secara mendalam berarti membentengi diri dari segala penetrasi yang dilancarkan oleh segenap kaum Yahudi dan Nasrani. Yang harus diingat selalu oleh umat ini adalah, bahwa sampai kapan pun mereka tidak akan membiarkan kita berada di bawah naungan Islam. Allah SWT berfirman, "Orang-orang Ya¬hudi dan Nasrani tidak akan senang ke¬padamu sehingga kamu mengikuti agama mereka," (QS al-Baqarah: 120). Wallahu a’lam.
Oleh : Ikhwan Fauzi

Selengkapnya..
>