Menjaga Norma-Norma Islam

Pagi itu tampak begitu cerah. Mata¬hari terbit, sinarnya mulai menyoroti cakrawala bumi. Bersamaan dengan itu, dari arah kejauhan terlihat kerumunan manusia sedang berdiri di tengah tanah lapang, mengitari lima buah patung batu besar, Wadd, Suwa'a, Yaghuts, Ya'uq dan Nashr, yang dibuat untuk mengenang lima ulama yang telah meninggal. Orang-orang itu saling bertanya tentang asal mula patung-patung tersebut. Rasa kagum bercampur heran membayangi mereka.
Di tengah segala kegamangan itu, tiba-tiba muncul seorang iaki-laki tua berpenampilan seperti syekh yang menggunakan baju kebesarannya. Sejenak orang-orang yang berke¬rumun terpana melihat penampilannya. Selu¬ruh pandangan tertuju kepadanya. Suasana yang semula penuh dengan hiruk pikuk, kini tampak sunyi-senyap. Dengan suara berat dan penuh kharisma, syekh tua mulai berbicara, "Wahai manusia, kalian adalah generasi yang hidup dalam rentang waktu yang sangat jauh dari nenek moyang kalian. Kalian saling mempertanyakan kelima patung besar ini. Ketahuilah, lima patung itu adalah jelmaan dari tuhan-tuhan yang dahulu pernah disem¬bah oleh nenek moyang kalian. Sekarang, sembahlah patung-patung itu."
Suara syekh itu seakan-akan bagaikan air hujan yang barn saja membasahi tanah kering di tengah musim kema¬rau yang berkepanjang¬an. Rentang waktu ke¬hidupan yang begitu jauh dari kehidupan ne¬nek moyang menyebab¬kan mereka hampir ti¬dak lagi mengetahui nilai-nilai relijius yang sesungguhnya. Mereka tampak begitu haus akan siraman ruhani. Sayangnya, kebodohan menyebabkan mereka tidak lagi dapat berfikir jernih. Tanga menyadari benar atau tidak, Mereka langsung menerima apa yang disampaikan syekh itu. Mereka tidak tahu, syekh tersebut adalah iblis la'natullahi alihi yang sedang memperdaya.
Lembaran sejarah mencatat, peristiwa tersebut adalah awal terjadinya penyimpangan akidah umat manusia. Allah SWT mengutus Nabi Nuh as untuk menyelamatkan umatnya dari penyimpangan akidah yang semakin jauh. Tetapi, pengaruh Iblis jauh lebih kuat mendo¬minasi hati dan pikiran mereka. Akibatnya, pandangan terhadap agama yang lurus menjadi fatamorgana. Mereka melihat kebe¬naran sebagai kesesatan dan kesesatan sebagai kebenaran.
Seruan Nabi Nuh tidak ditanggapi. Berkalk kali is dihina, bahkan, disiksa sampai pingsan lalu dibungkus dengan sehelai tikar dan dilemparkan ke tengah jalan. Mereka tidak mau mendengar seruan Nabi Nuh. Allah SWT berfirman, "Nuh berkata, 'Ya Tuhanku, sesung¬guhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanya menam¬bah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesung¬guhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat," (QS Nuh: 5-7).
Kisah orang-orang terdahulu yang penuh dengan segala warna kehidupan itu meru¬pakan goresan sejarah yang kaya hikmah. Selain itu, ia juga menorehkan bukti nyata, bahwa sepanjang masa, selalu muncul orang¬orang yang ingin menyimpangkan kebenaran. Penyimpangan yang terus berlanjut melahir¬kan kesesatan.
Namun demikian, tidak berarti kita sebagai bagian dari rangkaian sejarah terkini, bersikap pasif dan hanya berdiam diri karena frustrasi menghadapi kondisi buruk yang menimpa sebagian besar umat ini. Memang, kita tidak dapat memungkiri bahwa kesesatan dalam beragama yang kini Bering terjadi sudah menjadi fenomena menyedihkan. Di satu sisi sebagian umat ini berupaya menegakkan kebenaran dengan menjaga norma-norma agama dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain, selalu terbentur oleh keinginan sepihak orang¬orang yang menghendaki pencemaran norma¬norma tersebut. Ironisnya, tindakan kotor itu selalu saja terselubung dengan mengatas¬namakan kebebasan berfikir demi kemajuan rasionalitas dan keilmuan. Anehnya, pelaku¬nya pun mengaku bagian dari umat Islam yang menjalan norma agama dengan baik.
Peristiwa yang terjadi menjelang diutusnya Nabi Nuh dalam kisah di atas mempunyai kesamaan substansi dengan berbagai pe-nyimpangan yang ada pada saat sekarang. Hanya saja, penyimpangan norma-norma agama pada masa dahulu lebih banyak dise¬babkan oleh penetrasi dari luar. Sedangkan penyimpangan yang terjadi sekarang, selian disulut faktor eksternal, juga disebabkan oleh faktor internal.
Berapa banyak orang-orang yang kadong dianggap tokoh-tokoh intelektual muslim mencetuskan konsep-konsep pemikiran sesat dan menyesatkan-, jilbab dianggap hanya sebagai budaya Arab, bukan pakaian yang diwajibkan, yang haram dihalalkan, dan yang halal diharamkan. Hukum dan norma Islam yang sudah baku dipelintir seenaknya. Ke¬fleksibelan Islam disalah-artikan. Celakanya, para pelopor kesesatan itu justru dianggap oleh para pengikutnya yang mayoritas anak¬anak didik mereka, sebagai orang hebat yang memiliki pemikiran cerdas dan berani mem¬buka pintu revolusi agama secara blak-blakan. Orang-orang hanif yang berseberangan dengan pemikiran mereka dianggap jumud yang selalu menutupi diri dari setiap perkem-bangan ilmiah.
Tindakan konyol tersebut tentu saja mence¬markan nama baik umat ini. Bahkan, telah mencoreng moreng nama besar Islam. Jelas-jelas, tindakan kotor mereka merupakan pemaksaan kehendak untuk mengubah sub¬stansi norma-norma Islam, tetapi mereka tetap berkelit mengklaimnya sebagai hal yang wajar. Allah menegaskan dalam firman-Nya, "Se¬sungguhnya telah jelas jalan yang benar dari¬pada jalan yang sesat," (QS al-Baqarah: 256).
Menghadapi berbagai upaya penyim¬pangan itu, kaum muslimin seharusnya mawas diri. Jangan sampai terperangkap oleh tipu days mereka. Karena, keberadaan orang¬orang itu laksana musuh dalam selimut yang menggunting dalam lipatan. Di mana pun me¬reka berada, kepentingan yang dihasung hanya satu, yaitu ingin menyesatkan umat Islam sejauh-jauhnya sebagai mana yang terjadi pada zaman Nabi Nuh.
Bagi orang-orang swam yang tidak me¬ngerti persoalan agama, hendaknya bertanya kepada orang-orang hanif yang berkompeten di bidangnya. Bukan kepada orang-orang sesat yang mempunyai pemikiran liberal yang serba kebablasaan. Allah SWT berfirman, "Maka bertanyalah kepada orang yang mem¬punyai pengetahuan jika kamu tidak me¬ngetahui," (QS an-Nahl: 43).
Ikhwan Fauzi

Selengkapnya..
>