Ini hari kelima Khalifah Abdul Malik bin Marwan berada di kota Madinah. Kedatangannya ke tanah suci itu, selain untuk menunaikan ibadah haji, juga mau melihat perkembangan pembangunan Masjid Nabawi. Sambil melepas lelah di ruang peristirahatannya, ia menyuruh salah seorang utusan untuk memanggil seorang ulama ternama kala itu, Said bin al¬Musayyib.
Sudah tiga kali utusan itu datang, tapi Said bin al-Musayyib tak kunjung menghadap. Tentu saja sang utusan khalifah kesal bukan kepalang. Dalam hati ia menggerutu, "Seandainya kita bukan berada di kota Nabi, kepalamu sudah kupancung dan kuserahkan kepada khalifah."
Sambil menahan dong¬kol, utusan itu kembali menghadap Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan me¬nyampaikan keengganari Said untuk datang meng¬hadap. Sang khalifah terse-nyum kagum. "Hmmm, ter¬nyata benar apa yang dika¬takan orang tentang kelu¬huran pribadi ulama besar itu. Dia tetap memegang prinsip dan sabar dalam penderitaan. Tak ada yang ditakutin.va kecuali Allah. Semoga Allah memberikan rahmat kepada penduduk kota ini karena keberadaan ulama besar seperti Said bin al-Musayyib. Sebenar¬nya, bukan dia harus datang menghadapku, tapi aku yang datang ke hadapannya." Hari itu juga, Khalifah Abdul Malik bin Marwan bergegas datang ke
kediaman Said bin al-Musayyib, menghadap.
Said bin al-Musayyib merupakan salah sate contoh sosok seorang ulama yang mempunyai pendirian dan kemandirian yang kokoh. Seperti dika¬takan Khalifah Abdul Malik sendiri, "Tak ada yang ditakutinya kecuali Allah." Persil seperti yang dinya¬takan Allah dalam firman-Nya, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, " (QS Faathir: 28).
Kaum muslimin, khususnya para ulama saat ini, seharusnya menjadikan kisah di atas sebagai ibrah. Sebab, kehadiran ulama di tengah umatnya laksana garam yang keberadaannya selalu dinantikan dan dibutuhkan. Tanpa sentuhan
ulama, kehidupan umat terasa hampa. Ulamalah yang men¬jadi suluh umat untuk meniti kehidupan. Tanpa kehadir¬annya, umat akan bingung, bagaimana melangkah, dan apa yang harus diperbuat. Di mats umat, peranan ulama bagai seorang dokter. Ketika umat dilanda berbagai "pe¬nyakit mewabah", ulamalah yang turun tangan mengobati. Bahkan, tak hanya itu, ulama¬lah yang paling bertanggung terhadap menjangkitnya pWyakit umat.
Tentu yang dimaksud di sini adalah ulama khair yang mempunyai keman¬dirian kokoh bagai karang. la tetap berdiri tegar walau diterjang hantaman ombak sebesar gunung sekalipun. Merekalah ulama mandiri, yang tidak terkekang oleh kekuasaan apapun, selain kekuasaan Allah.
Ulama khair senantiasa menjadi anutan umat dan menjadi ikutan mereka di manapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Mereka, bu¬kan ulama suu' yang berlindung di batik ketiak penguasa, yang bisa disetir sesuai kebutuhan dan dimintai fatwa sekehendaknya. Kalau ini terjadi, ulama tak lebih bagaikan harimau sirkus. la akan tunduk kepada si pemiliknya. Diperintah apa pun ia pasti mau walaupun sekadar untuk mendapatkan sekerat daging dari pemilik sirkus. Tajamnya taring dan kuku tak berguna lagi. Mereka bak macan ompong. Jangankan pemburu yang membawa senjata lengkap, anak kecil pun tidak takut lagi mendekatinya, bahkan mempermainkannya.
"Larisnya" para ulama muda, dan mulai dijau¬hinya ulama-ulama sepuh oleh masyarakat akhir¬akhir ini, patut kita renungkan. Beberapa ulama mu¬da yang masih "miskin pengalaman", justru dimina¬ti. Namun, ucapan dan fatwa beberapa ulama se¬puh yang dikenal memiliki ilmu agama, justru tidak didengar masyarakat. Imbauan mereka dianggap angin lalu.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam karyanya ash¬Shahwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa al¬Tatharruf, menyebutkan bahwa di antara penyebab mandulnya ulama dalam memberikan fatwa, dise¬babkan keikutsertaan mereka berputar dalam po¬ros kekuasaan. Karena khawatir kemerdekaan dan kemandirian mereka akan tergadai, maka sejum¬lah ulama menolak keras pemberian, baik harta ataupun jabatan dari penguasa. Bahkan, mereka senantiasa berusaha menjauhi jabatan dan harta.
Hal itu mereka lakukan semata untuk menjaga kemerdekaan diri dan kemandirian. Karena jabatan dan harta, adalah fitnah yang bisa menjerumuskan seseorang kekubangan yang hina. Mereka tak per¬nah mendatangi penguasa untuk meminta perlin¬dungan atau keamanan. Sebaliknya, para pengua¬salah yang "takluk" di hadapan mereka. Ulamalah yang mestinya mengendalikan penguasa, bukan penguasa yang mendikte ulama. Inilah yang dimaksudkan Rasulullah saw dalam sabdanya, "Ulama yang paling buruk adalah yang suka mengunjungi penguasa. Sedangkan penguasa yang paling baik adalah yang suka mengunjungi ulama," (HR Ibnu Majah).
Karenanya, nama mereka tetap abadi dicatat sejarah. Kendati tak pernah mengangkat senjata, tapi mereka mampu mengalahkan ke-batilah dan kezaliman para penguasa. Mereka tetap merdeka dan mandiri mengeluarkan fatwa, menyuarakan kebenaran. Tak ada rasa khawatir di benak mereka, kecuali takut kepada Allah.
Di antara contoh menarik ketegasan ulama dalam menghadapi penguasa adalah kisah yang pernah dialami Imam Abu Hanifah. Kala itu, Khalifah Abu Ja'far al-Manshur mengutus seorang wazirnya untuk menyampaikan hadiah berupa sepuluh ribu dirham kepada Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah tak mau menerimanya. Melihat penolakan tersebut sang utusan berkata, "Demi Allah, sebaiknya Anda terima hadiah ini. Penolakan hanya akan merusak hubungan Anda dengan khalifah yang sudah terjalin baik selama ini. Kepercayaan khalifah kepada Anda akan hilang." Abu Hanifah tetap pada pendiriannya, tidak mau menerima hadiah dari sang khalifah.
"Kalau begitu, tolong beritahu apa alasan Anda menolak pemberian khalifah agar says bisa menyampaikannya kepada beliau," ujar sang utusan.
"Sampaikan kepada khalifah. Masih banyak umat Islam yang hidup menderita. Alangkah baiknya kalau uang itu diberikan kepada mereka. Merekalah yang patut menerimanya," tandas Abu Hanifah.
Itulah sikap sejati seorang ulama. Selain ber¬usaha mandiri, ia juga senantiasa memikirkan umat. Apa yang dilakukan para ulama dengan mengeluarkan beberapa komitmen tentang permasalahan yang dihadapi umat, harus didukung. Sebuah sikap yang mestinya tidak hanya dilakukan ketika mereka tidak lagi terpaut dengan kekuasaan. Tapi, menjadi komitmen yang senantiasa dilaksanakan setiap saat.
Sikap seperti inilah yang sesungguhnya diimpikan umat. Yakni, ulama yang benar-benar mengurusi masalah umat. Langkah seperti inilah yang sesungguhnya mencerminkan kepribadian ulama. Benar-benar ulama yang mandiri!
Oleh : Hepi Andi
Sabili No. 22 TH. IX 19 Safar 1423
Selengkapnya..
Sambil menahan dong¬kol, utusan itu kembali menghadap Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan me¬nyampaikan keengganari Said untuk datang meng¬hadap. Sang khalifah terse-nyum kagum. "Hmmm, ter¬nyata benar apa yang dika¬takan orang tentang kelu¬huran pribadi ulama besar itu. Dia tetap memegang prinsip dan sabar dalam penderitaan. Tak ada yang ditakutin.va kecuali Allah. Semoga Allah memberikan rahmat kepada penduduk kota ini karena keberadaan ulama besar seperti Said bin al-Musayyib. Sebenar¬nya, bukan dia harus datang menghadapku, tapi aku yang datang ke hadapannya." Hari itu juga, Khalifah Abdul Malik bin Marwan bergegas datang ke
kediaman Said bin al-Musayyib, menghadap.
Said bin al-Musayyib merupakan salah sate contoh sosok seorang ulama yang mempunyai pendirian dan kemandirian yang kokoh. Seperti dika¬takan Khalifah Abdul Malik sendiri, "Tak ada yang ditakutinya kecuali Allah." Persil seperti yang dinya¬takan Allah dalam firman-Nya, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, " (QS Faathir: 28).
Kaum muslimin, khususnya para ulama saat ini, seharusnya menjadikan kisah di atas sebagai ibrah. Sebab, kehadiran ulama di tengah umatnya laksana garam yang keberadaannya selalu dinantikan dan dibutuhkan. Tanpa sentuhan
ulama, kehidupan umat terasa hampa. Ulamalah yang men¬jadi suluh umat untuk meniti kehidupan. Tanpa kehadir¬annya, umat akan bingung, bagaimana melangkah, dan apa yang harus diperbuat. Di mats umat, peranan ulama bagai seorang dokter. Ketika umat dilanda berbagai "pe¬nyakit mewabah", ulamalah yang turun tangan mengobati. Bahkan, tak hanya itu, ulama¬lah yang paling bertanggung terhadap menjangkitnya pWyakit umat.
Tentu yang dimaksud di sini adalah ulama khair yang mempunyai keman¬dirian kokoh bagai karang. la tetap berdiri tegar walau diterjang hantaman ombak sebesar gunung sekalipun. Merekalah ulama mandiri, yang tidak terkekang oleh kekuasaan apapun, selain kekuasaan Allah.
Ulama khair senantiasa menjadi anutan umat dan menjadi ikutan mereka di manapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Mereka, bu¬kan ulama suu' yang berlindung di batik ketiak penguasa, yang bisa disetir sesuai kebutuhan dan dimintai fatwa sekehendaknya. Kalau ini terjadi, ulama tak lebih bagaikan harimau sirkus. la akan tunduk kepada si pemiliknya. Diperintah apa pun ia pasti mau walaupun sekadar untuk mendapatkan sekerat daging dari pemilik sirkus. Tajamnya taring dan kuku tak berguna lagi. Mereka bak macan ompong. Jangankan pemburu yang membawa senjata lengkap, anak kecil pun tidak takut lagi mendekatinya, bahkan mempermainkannya.
"Larisnya" para ulama muda, dan mulai dijau¬hinya ulama-ulama sepuh oleh masyarakat akhir¬akhir ini, patut kita renungkan. Beberapa ulama mu¬da yang masih "miskin pengalaman", justru dimina¬ti. Namun, ucapan dan fatwa beberapa ulama se¬puh yang dikenal memiliki ilmu agama, justru tidak didengar masyarakat. Imbauan mereka dianggap angin lalu.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam karyanya ash¬Shahwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa al¬Tatharruf, menyebutkan bahwa di antara penyebab mandulnya ulama dalam memberikan fatwa, dise¬babkan keikutsertaan mereka berputar dalam po¬ros kekuasaan. Karena khawatir kemerdekaan dan kemandirian mereka akan tergadai, maka sejum¬lah ulama menolak keras pemberian, baik harta ataupun jabatan dari penguasa. Bahkan, mereka senantiasa berusaha menjauhi jabatan dan harta.
Hal itu mereka lakukan semata untuk menjaga kemerdekaan diri dan kemandirian. Karena jabatan dan harta, adalah fitnah yang bisa menjerumuskan seseorang kekubangan yang hina. Mereka tak per¬nah mendatangi penguasa untuk meminta perlin¬dungan atau keamanan. Sebaliknya, para pengua¬salah yang "takluk" di hadapan mereka. Ulamalah yang mestinya mengendalikan penguasa, bukan penguasa yang mendikte ulama. Inilah yang dimaksudkan Rasulullah saw dalam sabdanya, "Ulama yang paling buruk adalah yang suka mengunjungi penguasa. Sedangkan penguasa yang paling baik adalah yang suka mengunjungi ulama," (HR Ibnu Majah).
Karenanya, nama mereka tetap abadi dicatat sejarah. Kendati tak pernah mengangkat senjata, tapi mereka mampu mengalahkan ke-batilah dan kezaliman para penguasa. Mereka tetap merdeka dan mandiri mengeluarkan fatwa, menyuarakan kebenaran. Tak ada rasa khawatir di benak mereka, kecuali takut kepada Allah.
Di antara contoh menarik ketegasan ulama dalam menghadapi penguasa adalah kisah yang pernah dialami Imam Abu Hanifah. Kala itu, Khalifah Abu Ja'far al-Manshur mengutus seorang wazirnya untuk menyampaikan hadiah berupa sepuluh ribu dirham kepada Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah tak mau menerimanya. Melihat penolakan tersebut sang utusan berkata, "Demi Allah, sebaiknya Anda terima hadiah ini. Penolakan hanya akan merusak hubungan Anda dengan khalifah yang sudah terjalin baik selama ini. Kepercayaan khalifah kepada Anda akan hilang." Abu Hanifah tetap pada pendiriannya, tidak mau menerima hadiah dari sang khalifah.
"Kalau begitu, tolong beritahu apa alasan Anda menolak pemberian khalifah agar says bisa menyampaikannya kepada beliau," ujar sang utusan.
"Sampaikan kepada khalifah. Masih banyak umat Islam yang hidup menderita. Alangkah baiknya kalau uang itu diberikan kepada mereka. Merekalah yang patut menerimanya," tandas Abu Hanifah.
Itulah sikap sejati seorang ulama. Selain ber¬usaha mandiri, ia juga senantiasa memikirkan umat. Apa yang dilakukan para ulama dengan mengeluarkan beberapa komitmen tentang permasalahan yang dihadapi umat, harus didukung. Sebuah sikap yang mestinya tidak hanya dilakukan ketika mereka tidak lagi terpaut dengan kekuasaan. Tapi, menjadi komitmen yang senantiasa dilaksanakan setiap saat.
Sikap seperti inilah yang sesungguhnya diimpikan umat. Yakni, ulama yang benar-benar mengurusi masalah umat. Langkah seperti inilah yang sesungguhnya mencerminkan kepribadian ulama. Benar-benar ulama yang mandiri!
Oleh : Hepi Andi
Sabili No. 22 TH. IX 19 Safar 1423